Tahun tanpa musim panas, juga dikenal sebagai Tahun Kemiskinan dan Seribu delapan ratus dan membeku hingga mati, terjadi pada 1816, ketika penyimpangan iklim musim panas menghancurkan panen di Eropa Utara, Amerika timur laut dan Kanada timur. Kini orang umumnya menduga bahwa penyimpangan itu terjadi karena ledakan vulkanik Gunung Tambora pada tanggal 5 April–15 April 1815. Gunung ini terletak di pulau Sumbawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) yang melontarkan lebih dari satu setengah juta ton – atau 400 km³ – debu ke lapisan atas atmosfer. Seperti umumnya diketahui, setelah sebuah letusan gunung berapi yang dahsyat, temperatur di seluruh dunia menurun karena berkurangnya cahaya matahari yang bersinar melalui atmosfer.
read more
http://img524.imageshack.us/img524/1644/krakatau.jpg
Penyimpangan iklim yang luar biasa pada 1816 menimbulkan pengaruh yang sangat hebat di Amerika timur laut, Kanada Maritim dan Eropa utara.
Biasanya, pada akhir musim semi dan musim panas di Amerika timur laut cuacanya relatif stabil: temperatur rata-rata sekitar 20–25°C, dan jarang sekali turun hingga di bawah 5°C. Salju musim panas sangat jarang terjadi, meskipun kadang-kadang turun pada bulan Mei.
http://mountaincatgeology.files.wordpress.com/2009/09/tambora-volcano.jpg?w=614
Namun pada Mei 1816 frost (pembekuan) mematikan sebagian besar tanaman yang telah ditanam, dan pada bulan Juni dua badai salju mengakibatkan banyak orang yang meninggal. Pada Juli dan Agustus, danau dan sungai yang membeku dengan es terjadi hingga di Pennsylvania yang jauh di selatan. Perubahan temperatur yang cepat dan dramatis lazim terjadi, dengan temperatur yang bergeser dari yang normal dan di atas normal pada musim panas, yaitu 35°C hingga hampir membeku hanya dalam beberapa jam saja. Meskipun para petani di selatan New England berhasil menuai panen yang masak, harga jagung dan biji-bijian lainnya meningkat secara dramatis. Harga haver, misalnya, meningkat dari 12 sen dolar sekarungnya (ukuran 35 1/4 liter) pada tahun sebelumnya menjadi 92 sen dolar Amerika.
http://neatorama.cachefly.net/stacy/krak.jpg
Banyak sejarahwan yang menyebutkan tahun tanpa musim panas ini sebagai motivasi utama untuk terbentuknya dengan segera pemukiman yang kini disebut sebagai Barat Tengah Amerika. Banyak penduduk New England yang tewas karena tahun itu, dan puluhan ribu lainnya berusaha mencari tanah yang lebih subur dan kondisi-kondisi pertanianyang lebih baik di Barat Tengah Hulu (saat itu merupakan Wilayah Barat Laut) Sementara hasil panen memang buruk selama beberapa tahun, pukulan yang terakhir terjadi pada 1815 dengan letusan Tambora.
Letusan Tambora ini juga menyebabkan Hongaria mengalami salju coklat. Italia mengalami sesuatu yang serupa, dengan salju merah yang jatuh sepanjang tahun. Hal ini diyakini disebabkan oleh debu vulkanik di atmosfer.
Badai yang hebat, curah hujan yang tidak normal, dan banjir di sungai-sungai utama Eropa (termasuk Sungai Rhein dihubungkan dengan peristiwa ini. Demikian pula dengan frost yang terjadi pada Agustus 1816.

Tambora 1815, Mengguncang Peradaban Manusia

gunung 
tambora
Kebanyakan dari kita lebih mengenal Gunung Krakatau dengan sejarah letusan kolosalnya, padahal jika dibandingkan dengan sejarah Gunung Tambora (2.850 m dpl), energi letusan yang dikeluarkan sebanyak 4 kali lebih besar dari Gunung Krakatau. Kehebatan dampak letusannya kepada Manusia dan lingkungan, Dunia barat bahkan menjulukinya sebagai Pompeii dari Timur dan digolongkan sebagai Gunung Berapi yang mempunyai kekuatan ledakan super (Supervulcano) yang artinya proses letusan gunung berapi ini memuntahkan isi perutnya lebih dari 1.000 kubik kilometer atau 240 mil kubik.
Gunung Tambora yang saat itu berbentuk stratovulcano, gunung yang berbentuk runcing pada ujungnya sebagaimana penggambaran awam kita tentang sebuah gunung. Meletus pada tahun 1815 dengan kekuatan peringkat ke tujuh menurut Volcanic Explosivity Index, dan termasuk sebagai ukuran letusan gunung berapi terbesar sepanjang sejarah. Penggambaran kehebatan letusan Tambora 1815 bahwa suara ledakannya terdengar hingga di Pulau Sumatera (lebih dari 2.000 km jauhnya). Abu Vulkanik yang keluar dari gunung diamati juga jatuh di Kalimantan, Jawa, Maluku dan Sulawesi. Korban yang tewas setidaknya terhitung sekitar 92.000 jiwa (mungkin catatan yang paling mematikan dalam sejarah letusan), yang langsung tewas karena letusan terhitung berkisar 11.000 – 12.000 jiwa, dan selebihnya tewas karena dampak lanjutan dari letusan gunung mulai dari wabah penyakit, kelaparan karena kegagalan panen dan dampak perubahan iklim global yang disebabkan oleh letusan gunung Tambora.

Letusan yang Bersejarah

letusan tambora
Sebelum mengalami letusan puncak gunung Tambora mencapai 4.300 m dpl, ketinggian ini berarti gunung tersebut menempati daftar gunung tertinggi di Indonesia pada masanya. Beberapa abad sebelum letusan, gunung Tambora mengalami masa dormansi atau disebut sebagai masa istirahat. Penggambaran dormansi sesungguhnya adalah seperti biji tanaman sebelum muncul tunas, sebelum mencapai waktu dan tempat yang optimal situasi biji tanaman tersebut melakukan istirahat sementara, tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai biji yang mati, meskipun cukup lama tidak bertunas.
Memulai tingkat aktifitasnya dari tahun 1812,  kaldera mulai bergemuruh dan menyebabkan awan hitam. Pada 5 April 1815, sebuah letusan ukuran sedang mulai terjadi, dan diikuti oleh gemuruh suara ledakan sehingga terdengar sampai di Makasar, Sulawesi (jarak 380 kilometer), Jakarta dan beberapa bagian di Jawa lainnya, dan pada paginya tanggal 6 April abu vulkanik yang dikeluarkan mulai jatuh di Jawa Timur, suara ledakan beruntun terjadi hingga 10 April (11 April) semakin keras sehingga terdengar sampai di Sumatera dan Kalimantan.
Dari serangkaian letusan yang terjadi dalam waktu beberapa hari, meledakkan dan memotong gunung dengan lebar hampir satu mil. Kolom vulkanik yang keluar dari perut bumi terbang ke angkasa sejauh 40 km dan kembali ke tanah membuat aliran abu besar piroklastik, batu apung dan puing-puing. Aliran piroklastik sudah berdampak menewaskan orang-orang di jalan-jalan, dan melakukan perjalanan sejauh 1.300 km. Ketika aliran ini mencapai laut, menciptakan sebuah perpindahan yang sangat besar sehingga menyebabkan tsunami setinggi 5 meter yang memancar keluar dari pulau. Dan Tsunami ini juga menyebabkan dampak banjir, kehancuran dan kematian pada pulau-pulau lainnya di Indonesia.

Tabel Perbandingan Dampak Letusan Gunung Berapi Dunia

Letusan Tahun Tinggi Kolom (km) VEI anomaly Musim Panas (°C) Kematian
Mount Vesuvius 79 30 5 ? >2000
Taupo 186 51 7 ?
Baekdu 969 25 6–7 ? ?
Kuwae 1452 ? 6 ?0.5 ?
Huaynaputina 1600 46 6 ?0.8 ?1400
Tambora 1815 43 7 ?0.5 > 92,000
Krakatau 1883 25 6 ?0.3 36,600
Santamaría 1902 34 6 no anomaly 7,000–13,000
Katmai 1912 32 6 ?0.4 2
Mt. St. Helens 1980 19 5 no anomaly 57
El Chichón 1982 32 4–5 ? > 2,000
Nevado del Ruiz 1985 27 3 no anomaly 23,000
Pinatubo 1991 34 6 ?0.5 1202
Sumber: Wikipedia

Tahun tanpa Musim Panas dan Fenomena Pendinginan Global

Tahun 1816 mengalami sebuah kondisi cuaca sangat ekstrim dan terjadi perubahan iklim global anomali, sehingga mendapat julukan sebagai Tahun tanpa musim panas. Pada musim semi dan musim panas yang terjadi di tahun yang sama, kabut kering terlihat di timur laut Amerika Selatan sehingga membuat redup matahari, sebagai gambaran saat itu mata telanjang pun sanggup menatap langsung ke arah matahari pada siang hari. Rata-rata suhu global turun beberapa derajat dari yang semestinya. Perubahan iklim global pada 1816 tercatat juga sebagai dekade terdingin kedua di belahan bumi utara sejak 1400 Masehi.
Pola iklim anomali ini juga dituding sebagai penyebab epidemi tifus di bagian tenggara eropa, banyak ternak mati di New England selama musim dingin 1816-1817. Suhu terlalu dingin juga menyebabkan kegagalan panen sehingga menyebabkan menipisnya bahan makanan. Kelaparan terjadi merata di bagian barat daya dan utara Irlandia dikarenakan kegagalan panen gandum, dan kentang. Krisis ini juga terjadi sangat parah di Jerman, harga bahan pokok pangan melambung sangat tingg, karena banyak yang tidak paham dengan masalah terjadi demo dimana-mana diikuti dengan kerusuhan dan penjarahan di pasar dan toko-toko. Ini adalah gambaran kelaparan terburuk yang terjadi pada kurun abad ke 19 di belahan bumi.
Tahun 1816 juga dikenal sebagai tahun Kemiskinan, karena terjadi perubahan suhu bumi khususnya di belahan utara bumi. Cuaca terganggu di segala penjuru, terlihat di belahan Eropa Barat, Amerika Serikat dan Asia. Epidemi Kolera dan Tipus juga terjadi mewabah menjangkiti masyarakat. Di tempat-tempat seperti New England dan Kanada, embun beku tercatat pada setiap bulan di tahun yang sama serta salju turun pada bulan Juni. Fenomena ini juga di kenal sebagai Pendinginan Global.
Mengapa ini bisa terjadi?,  200 ton juta Sulfur dioksida ditembakkan oleh Gunung Tambora ke Stratosfer. dan cukup berdampak langsung untuk mencegah sinar matahari mencapai permukaan bumi, sehingga menghasilkan penurunan suhu secara keseluruhan. Proses ini secara langsung atau tidak langsung akan mematikan tanaman serta makhluk lain sebagai ujung akhirnya. Lanjutannya adalah kegagalan panen sehingga menyebabkan kelaparan massal serta terjadi peningkatan angka kematian yang cukup tinggi.

Peradaban dan Kebudayaan yang hilang

Hujan abu selama dua hari tiga malam disusul bunyi meriam yang rupanya menandai keruntuhan kawah, disusul lagi hujan pasir dan emboh laut (gelombang pasang,pen). Sebabnya disangka akibat tindakan jahat Sultan Tambora Abdul Gafur. Kerajaan Pekat dan Tambora binasa. Malapetaka itu berakhir berkat orang bersembahyang, tetapi kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tidak tertolong. Banyak orang mati karena makan daun ubi beracun. Orang mati bergelatakan di jalan, tidak dikubur, tidak disembahyangkan, mayatnya menjadi mangsa burung, babi, dan anjing. Andai tidak datang pedagang dari luar, penduduk habis mati kelaparan: pedagang itu datang dari pulau – pulau sekitar dan dari Maluku, bahkan orang Arab, Cina, dan Belanda. Mereka membawa beras, gula, susu, jagung, dan kacang kedelai yang ditukarnya dengan piring mangkok, kain tenunan, senjata, barang mas dan perak, sereh, gambir, dan budak.
Begitulah keadaannya ketika Gunung Tambora meletus tahun 1815 dalam naskah Bo’Sangaji Kai, yang disunting oleh Chambert-Loir, dalam buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah.
Letusan Gunung Eyjafjallajokull di Islandia menyemburkan abu vulkanik yang memusingkan, karena mengacaukan lalu lintas udara Eropa.
Ribuan penumpang tertahan di bandara, perekonomian terganggu, barang-barang komoditas pertanian membusuk karena tak bisa dikirim.
Namun, menurut laman Wall Street Journal, Sabtu (24/4) dampak letusan Gunung Eyjafjallajökull tak sebanding dengan letusan Gunung Tambora di Sumbawa Indonesia.
Pada 5 April 1815 sore, gunung berapi Tambora mulai bergemuruh dan ‘batuk -batuk’. Kondisi ini terjadi dalam beberapa hari.
Beberapa hari kemudian, pada 11 dan 12 April letusan Gunung Tambora mencapai klimaksnya. Gunung besar itu meletus, getarannya mengguncangkan bumi hingga jarak ratusan mil.
Selama lebih dari 10 hari kemudian, Tambora mengeluarkan 24 kubik mil (1 mil = 1,6 kilometer) lava dan bebatuan gunung. Saking dahsyatnya, di puncak Tambora tercipta kawah selebar tiga mil dan dalamnya hampir 1 mil.
Lelehan lava panas, batu yang berterbangan, dan gas mematikan yang keluar dari perut Tambora saat itu menewaskan puluhan ribuan orang.
Jutaan ton abu dan debu memenuhi udara, mengubah siang hari menjadi gelap gulita. Debu tebal menyelimuti wilayah kaki gunung dan bahkan Bali.
Debu menutup semua vegetasi di Pulau Bali dan menyelimuti lautan. Sekitar 117.000 orang di wilayah yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda tewas. Banyak dari mereka terkena imbas letusan,  jadi korban kelaparan dan penyakit.
Baru permulaan
Letusan gunung di Islandia sama sekali bukan bandingan untuk Tambora. Badan Geologi Amerika Serikat atau US Geological Survey bahkan menobatkan letusan Tambora sebagai “yang terkuat sepanjang sejarah”.
Letusan Tambora bahkan lebih dahsyat dari Krakatau. Menurut data Volcanic Explosivity Index (VEI), indeks letusan gunung yang mirip skala Richter untuk mengukur kekuatan gempa.
Perhitungan VEI ada pada skala 1 hingga 8, setiap satu angka adalah 10 lebih besar dari sebelumnya. Tambora ada di level tujuh, Krakatau enam. Ini berarti Tambora lebih kuat 10 kali lebih besar dari letusan Krakatau.
Bagaimana letusan gunung Islandia? Leel VEI-nya hanya dua atau tiga. Ataiu 10.000 kali lebih lemah dari Tambora.
Letusan Eyjafjallajökull ‘saja’ bisa mempengaruhi atmoser dan membuat dunia penerbangan kalang kabut.
Tak terbayang jika Tambora meletus di era ini. Seperti meriam raksasa, tambora menyemburkan abu, debu, dan setidaknya 400 juta ton gas sulfur ke udara, hingga 27 mil tegak lurus ke strastofer, jauh di atas awan cuaca.
Ini mengakibatkan ledakan di lapisan troposfer — lapisan terdekat dari permukaan Bumi, di mana awan, angin, dan hujan, serta 75 persen dari berat atmosfer berada.
Semburan Tambora juga menyobek lapisan tipis ozon yang melindungi Bumi dari radiasi sinar matahari.
Karena daya tarik grafitasi yang ringan di angkasa, abu dan debu Tambora melayang dan menyebar mengelilingi dunia. Debu Tambora menetap di lapisan troposfer selama beberapa tahun dan turun melalui angin dan hujan kembali ke Bumi.
Letusan Tambora berakibat luar biasa. Gagal panen di China, Eropa, dan Irlandia. Hujan tanpa henti dselama delapan minggu memicu epidemi tifus yang menewaskan 65.000 orang di Inggris dan Eropa. Kelaparan melumpuhkan di Inggris.
Kegelapan menyelimuti Bumi, menginspirasi novel-novel misteri legendaris misalnya, ‘Darkness’ atau ‘Kegelapan’ karya Lord Byron, ‘The Vampir’ atau ‘Vampir’ karya Dr John Palidori dan novel ‘Frankenstein’ karya Mary Shelley.
Tambora juga jadi salah satu pemicu kerusuhan di Perancis yang warganya kekuarangan makanan. Juga mengubah sejarah saat Napoleon kalah akibat musim dingin berkepanjangan dan kelaparan pada 1815 di Waterloo.
Korban Letusan Gunung
No, Korban Tewas, Nama Gunung Api, Letak, Tahun Letusan
1: 92,000: Mount Tambora: Indonesia: 1815
2: 36,000: Krakatau: Indonesia: 1883
3: 29,000: Mount Pelée: Martinique: 1902
4: 23,000: Nevado del Ruiz: Colombia: 1985
5: 18,000: Mount Vesuvius: Italy: 1631
6: 15,000: Mount Unzen: Japan: 1792
7: 10,000: Mount Kelud: Indonesia: 1586
8: 9,350: Laki: Iceland: 1783
9: 6,000: Santa Maria: Guatemala: 1902
10: 5,115: Mount Kelud: Indonesia: 1912
11: 4,000: Mount Galunggung: Indonesia: 1822
12: 3,600: Mount Vesuvius: Roman Empire: 79
13: 3,500: El Chichón: Mexico: 1982
14: 2,000: Tseax River: ConeCanada: 1730 ± 150
15: 1,680: Soufrière: St. Vincent: 1902
16: 1,000: Cotopaxi: Ecuador: 1887
17: 700: Mount Pinatubo: Philippines: 1991
18: 245: Nyiragongo: Congo: 2002
19: 152: Mt Ruapehu Tangiwai: New Zealand: 1953
20: 120: Mount Tarawera: New Zealand: 1886
21: 57: Mount St. Helens: United States: 1980

Kekalahan Napoleon di Waterloo membuat peta politik dunia berubah. Perancis yang sebelumnya menjai salah satu negara dengan kekuatan yang luas, berubah menjadi negara dengan wilayah kekuasaan yang lebih sempit, lebih kecil jika dibandingkan wilayah Perancis saat meletusnya Revolusi Perancis.
Yang tak banayk diketahui adalah adanya kaitan antara cuaca buruk di waterloo dengan sebuah fenomena alam yang terjadi jauh dari Eropa. Kenneth Spink, seorang pakar geologi, membuat sebuah “teori”-yang tentu harus masih harus diuji-yang menyebut kekalahan Napoleon merupakan akibat letusan sebuah gunung bernama Tambora. Dalam sebuah pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris, pada 1996, Spink mengatakan letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk waterloo pada tahun 1815.
Gunung Tambora secara administratif masuk wilayah Propinsi Nusa Tenggara barat. Gunung itu meliputi dua kabupaten, yaitu Dompu dan Bima. Nama Tambora sebenarnya berasal dari dua kata yakni “ta” dan “mbora” yang secara keseluruhan bermakna “ajakan menghilang”.
Sebelum meletus, gunung Tambora merupakan salah satu puncak tertinggi di Indonesia, yakni sekitar 4.300 meter. Setelah meletus, ketinggian gunung turun drastis, menjadi 3000 meter. Sisa letusan kini menjadi sebuah kaldera, kaldera terbesar Indonesia sekarang.
Letusan gunung Tambora yang amat dahsyat terjadi pada hari-hari di bulan April 1815 dengan skala letusan tujuh Volcanic Explosivity Index. Puncak letusan terjadi mulai tanggal 10-15 April. Para ahli menyebut letusan itu merupakan terbesar sepanjang 10.000 tahun. Meledak dengan kekuatan sekitar 1.000 megaton TNT. Letusan Tambora diperkirakan empat kali lipat lebih dahsyat dari letusan Gunung Krakatau dan enam juta kali letusan bom atom di Hiroshima. Letusan terdengar sejauh 2500 kilometer, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1300 kilometer. Ada dokumen yang menyebutkan penemuan seonggok mayat di ” rakit” batu apung yang terdampar ke pantai Afrika setahun kemudian. Kegelapan terlihar sejauh 600 kilometer dari puncak. Dengan kekuatan sebesar itu, tentu wajar jika dua bulan kemudian setelahnya cucaca buruk akibat letusan Tambora masih terasa di eropa dan bahkan mengakibatkan kekalahan Napoleon. Tapi, Tambora bukan hanya membuat Napoleon kalah.Korban langsung yang berjatuhan diperkirakan 92.000. korban juga terdapat di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan.


Akibat letusan itu pula dunia mengenag tahun 1816 sebagai “tahun tanpa musim panas”. Di Eropa barat, Amerika dan Kanada berhembus udara beku yang mematikan. Debu vulkanis yang disemburkan tambora menyelimuti permukaan laut, dan abu pekat tersebut “berkeliling dunia” sepanjang tahun membuat sinar matahari tertutup. Paola cuaca di dunia menjadi jungkir balik. Di New England, AS, salju turun pada bulan Juli dan udara beku pada Juli-Agustus membuat paceklik. Sungai es terlihat pada bulan Juli di Pennsylvania, dan ratusan ribu orang meninggal karena kelaparan di seluruh dunia. Letusan Tambora juga menyebarkan penyakit kolera ke seluruh dunia. Dalam artikel Mount Tambora in 1815: A Colcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermaths, Bernice de Jong Boers menyebut letusan Tambora pemicu pecahny.